"Langkah Kecil Menuju Mimpi Besar"
Namaku Fadhil, siswa kelas XI di sebuah Madrasah Aliyah di pelosok Jawa Tengah. Sejak kecil, aku selalu percaya bahwa ilmu adalah cahaya. Kata ayahku, “Ilmu itu bekal hidup, Nak. Bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.” Kalimat itu menancap kuat dalam hatiku, menjadi kompas dalam setiap langkahku.
Di madrasah, aku dikenal sebagai siswa yang tekun. Tak hanya dalam pelajaran umum seperti Matematika dan Bahasa Inggris, tapi juga dalam pelajaran keagamaan—nahwu, sharaf, tafsir, hingga fikih. Aku merasa ilmu agama dan sains ibarat dua sisi koin yang saling melengkapi. Aku bercita-cita menjadi seorang ilmuwan muslim seperti Ibnu Sina, yang bisa menyatukan ilmu dunia dan akhirat.
Pagi hari aku belajar di madrasah, dan sore hingga malam aku mengaji di pesantren. Jadwalku padat, tapi aku menikmatinya. Di antara teman-temanku, aku sering membantu mereka mengerti pelajaran yang sulit. Bukan karena aku ingin dianggap pintar, tapi karena aku percaya, ilmu akan bertambah jika dibagikan.
Suatu hari, madrasah mengumumkan seleksi untuk Olimpiade Sains Nasional tingkat kabupaten. Banyak yang meragukan—“Mana bisa anak madrasah bersaing dengan sekolah unggulan?” Tapi aku tak gentar. Aku mendaftar dengan keyakinan penuh.
Setiap malam, setelah mengaji, aku menyisihkan waktu untuk belajar tambahan. Aku mengunduh soal-soal olimpiade, mempelajari teori, bahkan membaca jurnal sederhana yang kutemukan di internet. Ustazku sering bilang, “Jika kamu niatkan belajar untuk Allah, maka Allah akan mudahkan jalanmu.”
Hari lomba pun tiba. Aku gugup, tapi percaya diri. Dalam hati aku membaca doa, memohon agar usahaku diberkahi. Saat pengumuman tiba, aku tak menyangka namaku disebut sebagai juara pertama. Madrasahku pun diundang ke tingkat provinsi.
Kemenangan itu menjadi titik balik. Banyak yang mulai melirik madrasah kami. “Ternyata anak madrasah juga bisa!” ujar salah satu guru dari sekolah lain. Aku merasa bangga, bukan hanya karena menang, tapi karena mampu mengangkat nama madrasah dan menunjukkan bahwa pendidikan berbasis agama tak kalah berkualitas.
Kini, aku terus melangkah. Cita-citaku belum selesai. Aku ingin melanjutkan kuliah di jurusan Teknik Biomedis, agar kelak bisa menciptakan alat kesehatan yang terjangkau untuk masyarakat. Tapi aku juga ingin tetap mendalami ilmu syar’i, agar ilmu yang kupelajari selalu berada dalam naungan ridha-Nya.
Aku hanyalah seorang siswa madrasah di pelosok, tapi aku percaya—dengan tekad, doa, dan usaha—langkah kecil ini bisa membawa perubahan besar.